عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya :
SYARAH
Hadist ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syariat. Kata imam Abu Dawud, “Hadist ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya, ia akan memperoleh semua kandungan yang disebutkan, karena hadist ini mengandung penjelasan tentang halal, haram, syubhat, serta apa yang baik serta merusakkan hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum syariat, baik pokok maupun cabangnya. Hadist ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang syubhat (samar). ” Para Ulama telah sepakat mengenai keagungan hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya.
Hadist ini mengabarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
PERTAMA.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Sedikit kami ingatkan bahwa kita mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
KEDUA
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini smua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram. Contoh lain ialah pacaran dan berikhtilat dengan wanita non-mahram. Ini juga telah dinash haram oleh syariat.
KETIGA
Perkara Syubhat. Maksud syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan dalil – dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih diperdebatkan.
Berikut ini pendapat ulama tentang arti syubhat :
Sebagian ulama berpendapat bahwa syubhat ialah perkara haram. Mereka berargumendengan sabda Nabi tersebut,”….. berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya….” Barang siapa yang tidak membersihkan agama dan kehormatannya, ia terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara syubhat adalah sesuatu yang halal. Dasar mereka adalah sabda Beliau,”Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya….” Kalimat ini menunjukan bahwa syubhat adalah sesuatu yang halal, dan meinggalkannya adalah perbuatan wara’.
Ulama lain berpendapat bahwa syubhat bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara jelas memosisikan perkara syubhat di antara yang halal dan yang haram. Hanya saja, sebagai langkah kehati-hatian, seyogyanya kita menghindari barang syubhat. Tindakan seperti ini juga bagian dari sika wara’.
Benar, kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Sebagaimana dikatakan , “Kemaksiatan adalah kurir kekufuran.” Di samping itu, memasuki area syubhat berarti menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas halal atau haramnya. Dalam sebuah hadist, Nabi telah memerintahkan kita untuk meninggalkan sikap ragu – ragu. Beliau bersabda :
Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam hal menjauhi barang syubhat. Beliau adalah pemimpin orang –orang wara’. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diambil Rasulullah erkenaan dengan sebutir kurma yang jatuh ketika beliau mendapatinya di rumah beliau sendiri. Dalam menyikapi masalah ini beliau bersabda,”Kalau saja aku tidak khawatir bahwa sebutir kurma ini berasal dari barang sedekah, tentu sudah aku makan”(HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Bakar r.a. juga sosok yang patut kita teladani dalam sikap wara’. Suatu ketika ia pernah memakan makanan syubhat karena ketidaktahuannya. Maka, ketika mengetahuinya ia langsung memasukan tangannya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan makanan itu. Lalu, ia berkata,”Seandainya untuk mengeluarkan makanan tersebut aku harus mengorbankan nyawaku, pasti akan aku tempuh.”
Subhanallah,! Betapa besar semangat dan usaha Abu Bakar r.a. untuk menjaga perutnya agar tidak dimasuki barang syubhat. Jika Abu Bakar r.a saja selalu menjaga diri dari barang syubhat, padahal ia termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, apalagi kita?. Maka, kita semestinya memiliki tekad yang lebih besar untuk memelihara diri dari barang syubhat, apalagi haram. Lebih-lebih pada zama sekarang ini yang kebanyakan orang menyepelekan masalah ini.
Imam Nawawi juga termasuk sosok ulama yang wara’. Hal itu tercermin dalam sikapnya yang enggan memakan buah-buahan dari kota Yaman. Saat ditanya mengenai perbuatannya itu, ia menjawab, “Dahulu banyak tanah wakaf di kota Yaman, tapi sekarang tanah-tanah tersebut raib entah ke mana (bisa jadi diakui sebagai milik warga atau pemerintah). Maka, saya khawatir jangan-jangan buah – buahan itu tumbuh dari tanah-tanah wakaf tersebut yang hilang entah ke mana.” Demikianlah Imam Nawawi yang enggan memasukan barang syubhat ke dalam lambungnya. Maka, tidaklah mengeherankan kalau beliau menjadi Imam besar.
Sebagian ulama membagi syubhat menjadi tiga macam :
Pertama,
Sesuatu yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun mereka ragu apakah pengharaman itu sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum. Misalnya, daging binatang yang diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum disembelih, jika ia meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram hingga dapat diyakini telah disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin Hatim, disebutkan bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas anjing pemburuku dan aku ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada anjing lain yang melakukan pemburuan juga menyertai anjing milikku . (bagaimana kami mengambil sikap?).” Beliau menjawab,”Jangan kau makan (hasil buruan tersebut), karena engkau hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu dan tidak engkau ucapkan basmalah pada anjing yang lain!”(HR. Bukhari dan Muslim)
Fatwa Rasulullah ini berangkat dari kekhawatiran beliau kalau-kalau anjing pemburu yang menerkam binatang buruan itu bukan anjing yang telah diucapkan basmalah padanya saat melepasnya. Sehingga, hasil buruan itu seperti binatang yang disembelih tanpa menyebutkan nama Allah.
Kedua,
Kebalikan dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu sebenarnya halal, lalu diragukan keharamannya. Misalnya,seseorang mempunyai istri kemudian ia ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti ini pada dasarnya adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti mengenai keharamannya. Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang merasa seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya (kentut) ketika sedang menunaikan shalat. Lalu, beliau bersabda ,”Janganlah ia berpaling (menggugurka shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.”
Ketiga,
Seseorang merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau haram. Kedua kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana sikap yang diambil oleh Rasulullah,Abu Bakar, dan Imam Nawawi yang telah disampaikan di atas.
Usai menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya, sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah penjagaan yang berupa taman-taman atau lading tumbuh tanaman dan rerumputannya.
“Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya,segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hambaNya adlaah wilaya penjagaanNya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.” Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
Sekali lagi, mari kita senantiasa memelihara parut kita dari barang syubhat, apalagi haram. Karena di antara faktor terhubungnya doa adalah makanan dan minuman kita harus berasal dari sumber yang halal. Dalam sebuah hadist riwayat Muslim disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan penuh dengan debu. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,’Ya Rabb, ya Rabb….,’ sedang makananya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dengan barang yang haram. Maka, bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!.
Sekarang ini masih banyak orang yang berkoar bahwa mencari barang yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Asumsi seperti ini tidaklah benar karena Allah telah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa siapa saja yang bertakwa kepadaNya, Dia akan memberikan jalan keluar pada setiap persoalan yang membelitnya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Untuk itu, mari kita membersihkan hati kita. Apabila hati seseorang bersih, tentu ia dapat menjauhi syubhat. Sebaliknya, apabila hati seseorang kotor, ia akan selalu cenderung menjalankan perkara syubhat dengan seribu satu alas an yang digunakan.
PELAJARAN PENTING
1. Perkara halal dan haram sudah jelas. Kita tidak boleh mengubah yang halal menjadi haram,
2. Termasuk sikap wara’ adalah meinggalkan syubhat.
3. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang pada perbuatan haram,
4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6. Pertanda ketakwaan seseorang adalah jika dia meninggalkan perkara – perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan.
7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana adalah cara kea rah sana.
8. Hati-hati dalam masalah agama adalah kehormatan serta tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.
tag : apakah itu syubhat?, arti syubhat, macam-macam syubhat, makanan halal, haram, syarat diterimanya doa, hadist arbain, hadist arbain, arti wara', makna wara', contoh wara'
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya :
Dari Abu ABdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka, barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati’”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syariat. Kata imam Abu Dawud, “Hadist ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya, ia akan memperoleh semua kandungan yang disebutkan, karena hadist ini mengandung penjelasan tentang halal, haram, syubhat, serta apa yang baik serta merusakkan hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum syariat, baik pokok maupun cabangnya. Hadist ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang syubhat (samar). ” Para Ulama telah sepakat mengenai keagungan hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya.
Hadist ini mengabarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
PERTAMA.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Sedikit kami ingatkan bahwa kita mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
KEDUA
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini smua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram. Contoh lain ialah pacaran dan berikhtilat dengan wanita non-mahram. Ini juga telah dinash haram oleh syariat.
KETIGA
Perkara Syubhat. Maksud syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan dalil – dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih diperdebatkan.
Berikut ini pendapat ulama tentang arti syubhat :
Sebagian ulama berpendapat bahwa syubhat ialah perkara haram. Mereka berargumendengan sabda Nabi tersebut,”….. berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya….” Barang siapa yang tidak membersihkan agama dan kehormatannya, ia terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara syubhat adalah sesuatu yang halal. Dasar mereka adalah sabda Beliau,”Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya….” Kalimat ini menunjukan bahwa syubhat adalah sesuatu yang halal, dan meinggalkannya adalah perbuatan wara’.
Ulama lain berpendapat bahwa syubhat bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara jelas memosisikan perkara syubhat di antara yang halal dan yang haram. Hanya saja, sebagai langkah kehati-hatian, seyogyanya kita menghindari barang syubhat. Tindakan seperti ini juga bagian dari sika wara’.
Benar, kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Sebagaimana dikatakan , “Kemaksiatan adalah kurir kekufuran.” Di samping itu, memasuki area syubhat berarti menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas halal atau haramnya. Dalam sebuah hadist, Nabi telah memerintahkan kita untuk meninggalkan sikap ragu – ragu. Beliau bersabda :
Tinggalkanlah apa yang meragukanmy kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR.Tirmidzi)
Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam hal menjauhi barang syubhat. Beliau adalah pemimpin orang –orang wara’. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diambil Rasulullah erkenaan dengan sebutir kurma yang jatuh ketika beliau mendapatinya di rumah beliau sendiri. Dalam menyikapi masalah ini beliau bersabda,”Kalau saja aku tidak khawatir bahwa sebutir kurma ini berasal dari barang sedekah, tentu sudah aku makan”(HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Bakar r.a. juga sosok yang patut kita teladani dalam sikap wara’. Suatu ketika ia pernah memakan makanan syubhat karena ketidaktahuannya. Maka, ketika mengetahuinya ia langsung memasukan tangannya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan makanan itu. Lalu, ia berkata,”Seandainya untuk mengeluarkan makanan tersebut aku harus mengorbankan nyawaku, pasti akan aku tempuh.”
Subhanallah,! Betapa besar semangat dan usaha Abu Bakar r.a. untuk menjaga perutnya agar tidak dimasuki barang syubhat. Jika Abu Bakar r.a saja selalu menjaga diri dari barang syubhat, padahal ia termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, apalagi kita?. Maka, kita semestinya memiliki tekad yang lebih besar untuk memelihara diri dari barang syubhat, apalagi haram. Lebih-lebih pada zama sekarang ini yang kebanyakan orang menyepelekan masalah ini.
Imam Nawawi juga termasuk sosok ulama yang wara’. Hal itu tercermin dalam sikapnya yang enggan memakan buah-buahan dari kota Yaman. Saat ditanya mengenai perbuatannya itu, ia menjawab, “Dahulu banyak tanah wakaf di kota Yaman, tapi sekarang tanah-tanah tersebut raib entah ke mana (bisa jadi diakui sebagai milik warga atau pemerintah). Maka, saya khawatir jangan-jangan buah – buahan itu tumbuh dari tanah-tanah wakaf tersebut yang hilang entah ke mana.” Demikianlah Imam Nawawi yang enggan memasukan barang syubhat ke dalam lambungnya. Maka, tidaklah mengeherankan kalau beliau menjadi Imam besar.
Sebagian ulama membagi syubhat menjadi tiga macam :
Pertama,
Sesuatu yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun mereka ragu apakah pengharaman itu sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum. Misalnya, daging binatang yang diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum disembelih, jika ia meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram hingga dapat diyakini telah disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin Hatim, disebutkan bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas anjing pemburuku dan aku ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada anjing lain yang melakukan pemburuan juga menyertai anjing milikku . (bagaimana kami mengambil sikap?).” Beliau menjawab,”Jangan kau makan (hasil buruan tersebut), karena engkau hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu dan tidak engkau ucapkan basmalah pada anjing yang lain!”(HR. Bukhari dan Muslim)
Fatwa Rasulullah ini berangkat dari kekhawatiran beliau kalau-kalau anjing pemburu yang menerkam binatang buruan itu bukan anjing yang telah diucapkan basmalah padanya saat melepasnya. Sehingga, hasil buruan itu seperti binatang yang disembelih tanpa menyebutkan nama Allah.
Kedua,
Kebalikan dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu sebenarnya halal, lalu diragukan keharamannya. Misalnya,seseorang mempunyai istri kemudian ia ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti ini pada dasarnya adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti mengenai keharamannya. Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang merasa seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya (kentut) ketika sedang menunaikan shalat. Lalu, beliau bersabda ,”Janganlah ia berpaling (menggugurka shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.”
Ketiga,
Seseorang merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau haram. Kedua kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana sikap yang diambil oleh Rasulullah,Abu Bakar, dan Imam Nawawi yang telah disampaikan di atas.
Usai menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya, sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah penjagaan yang berupa taman-taman atau lading tumbuh tanaman dan rerumputannya.
“Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya,segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hambaNya adlaah wilaya penjagaanNya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.” Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
Sekali lagi, mari kita senantiasa memelihara parut kita dari barang syubhat, apalagi haram. Karena di antara faktor terhubungnya doa adalah makanan dan minuman kita harus berasal dari sumber yang halal. Dalam sebuah hadist riwayat Muslim disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan penuh dengan debu. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,’Ya Rabb, ya Rabb….,’ sedang makananya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dengan barang yang haram. Maka, bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!.
Sekarang ini masih banyak orang yang berkoar bahwa mencari barang yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Asumsi seperti ini tidaklah benar karena Allah telah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa siapa saja yang bertakwa kepadaNya, Dia akan memberikan jalan keluar pada setiap persoalan yang membelitnya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Untuk itu, mari kita membersihkan hati kita. Apabila hati seseorang bersih, tentu ia dapat menjauhi syubhat. Sebaliknya, apabila hati seseorang kotor, ia akan selalu cenderung menjalankan perkara syubhat dengan seribu satu alas an yang digunakan.
PELAJARAN PENTING
1. Perkara halal dan haram sudah jelas. Kita tidak boleh mengubah yang halal menjadi haram,
2. Termasuk sikap wara’ adalah meinggalkan syubhat.
3. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang pada perbuatan haram,
4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6. Pertanda ketakwaan seseorang adalah jika dia meninggalkan perkara – perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan.
7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana adalah cara kea rah sana.
8. Hati-hati dalam masalah agama adalah kehormatan serta tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.
tag : apakah itu syubhat?, arti syubhat, macam-macam syubhat, makanan halal, haram, syarat diterimanya doa, hadist arbain, hadist arbain, arti wara', makna wara', contoh wara'
HADIST AL ARBA'IN 6 (HALAL HARAM DAN SYUBHAT)
Reviewed by skyoko7@gmail.com
on
Monday, November 15, 2010
Rating:
terimah kasih atas infonya....:)
ReplyDelete