عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
[رواه البخاري ومسلم]
SYARAH
Hadist ini menjelaskan dua aspek penting yang berkenaan langsung dengan kehidupan manusia. Pertama, fase perkembangan manusia di dalam perut ibunya. Kedua, penetapan qadar sebagaimana keyakinan mazhab Ahlus SUnnah wal Jamaah. Mari kita simak bersama penjabarannya.
Dalam benak kita mungkin tebersit pertanyaan, mengapa Allah menciptakan anak Adam dalam beberapa fase? Padahal Dia Mahakuasa untuk menciptakannya sekaligus dalam waktu sekejap? Perlu kami ingatkan sejenak bahwa setiap tindakan dan syariat Allah pasti mengandung hikmah dan pelajaranyang dapat diambil. Hanya saja, hikmah tersebut kadang bisa kita ketahui dan kadang akal kita belum mampu mengetahuinya . Meskipun kita belum mengetahui hikmah tersebut, kita harus tetap yakin bahwa di balik semua itu terdapat hikmah yang besar bagi makhlukNya. Tidak semestinya kita bertanya, misalnya, “mengapa shalat zuhur berjumlah 4 rakaat? Sedangkan shalat subuh hanya dua rakaat?” Tidak selayaknya kita bertanya demujuan, karena Allah berfirman, “Dia tidak ditanya tentang apa yang dipebuatNya dan merekalah yang akan ditanyai”(QS.Al Anbiyaa’[21]:23)
Dalam beberapa hal tertentu, memang kita dituntut untuk menomorduakan akal dan pikiran kita. Jika kita bersikeras memakai akal sebagaimana perangkat untuk mengukur syariat Allah, hal itu akan menjerumuskn kita dalam keragu-raguan dan sikap was-was. Contoh kecil saja, ketika seseorang kentut, Allah tidak memerintahkannya untuk membasuh dubur ketik dia hendak shalat. Mengapa? Akan tetapi, yang diperintahkan Allah kepada kita adalah berwudhu karena ajaran agama ini tidak berdasarkan pada akal dan pikiran, tetapi bersifat taufiqy (diajarkan langsung oleh Alloh dan RasulNya). Berangkat dari sinilah Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan :
“Jika agama itu cukup dengan pikiran maka bagian bawah khuff lebih utama untuk diusap dari pada bagian atas. Aku benar-benar melihat Nabi SAW mengusap punggung kedua khuffnya”(HR. Abu Dawud)
Begitu pula kaitannya dengan penciptaan anak Adam. Ada tiga hikmah yang dapat kita petik di balik tahap penciptaannya. Pertama, agar ada kesesuaian penciptaan manusia dengan penciptaan alam yang luas, sesuai dengan hokum dan sebab akibat serta pendahuluan dan kesimpulan. Kedua, Allah mengajarkan kepada para hambaNya untuk bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam urusan mereka. Ketiga, pemberitahuan bahwa jika akan meraih kesempurnaan dengan cara bertahap sesuai dengan bertahapnya jasad dalam penciptaannya dari satu fase ke fase berikutnya hingga mencapai dewasa.
Dalam penciptaannya, manusia mengalami empat fase perkemabangan sebagai berikut :
1. Fase nutfah (setetes mani) selama empat puluh hari.
2. Fase ‘alaqah (semacam gumpalan darah) selama empat puluh hari.
3. Fase mughaladhah (sepotong atau segumpal daging) selama empat puluh hari.
4. Fase terakhir setelah ditiupkan ruh kepadanya.
Patut untuk diketahui bahwa sebelum masa empat bulan, janin tidak bisa dihukumi sebagai manusia yang hidup. Berangkat dari pemikiran ini, jika si janin gugur sebelum memasuki usia empat bulan, ia tidak perlu dimandikan, dikafani, atau dishalatkan. Sebab, ia belum menjadi manusia. Setelah berusia empat bulan, barulah ia dihukumi sebagai manusia, karena saat itu telah ditiupkan ruh kepadanya . Oleh sebab itu, jika setelah usia tersebut mengalami keguguran , ia harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, seperti halnya manusia yang telah melewati masa Sembilan bulan. Demikian menurut uaraian Syek Utsaimin. Seteleah menjalani empat fase tersebut, Allah memerintahkan malaikat untuk menulis atau menetapkan empat kalimat (ketetapan) kepadanya, yaitu rezeki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.
Hadist ini sekaligus mementahkan pengetahuan kita tentang teori evolusi yang diaharkan di bangku sekolah. Teori Darwin yang sudah berusia 150 tahun tersebut telah berpengaruh besar pada pandangan hidup yang dianut masyarakat. Teori ini menyatana sebuah kedustaan, yautu bahwa manusia muncul ke dunia ini sebagai akibat faktor kebetulan dan bahwa manusia adalah suatu “spesies binatang”. Padahal, sudah jelas bahwa semua manusia sejak nabi Adam a.s hingga sekarang diciptakan Allah. Sungguh benar firman Allah,
“ Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik”(QS. Al-Mukminuun[23]:12-14)
Hadist ini juga mengandung penetapan qadar sebagaimana yang diyakini oleh mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah , yaitu bahwa seluruh kejadian berdasarkan ketentuan dan takdir (qadar) Allah, yang baik maupun yang buruk, yang bermanfaat maupun yang merugikan.
Takdir itu rahasia Allah. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, bahkan Rasul atau Nabi sekalipun. Ada ulama yang mengatakan, “sesungguhnya rahasia qadar itu akan terbuka bagi mereka ketika telah masuk ke dalam surga dan ia tidak akan terungkap sebelum itu”. Akan tetapi ironisnya sebagian manusia ada yang tidak mau beramal dan hanya pasrah kepada takdir. Sikap seperti itu dilarang oleh syariat.
Dalam hadist Bukhari, Nabi bersabda,”Tidak ada makhluk yang bernafas kecuali Allah telah menentukan tempatnya di surga atau neraka, telah dituliskan celaka atau bahagia.” Seseorang bertanya,”Ya Rasulullah, apakah kita berpegang pada ketentun tersebut dan meninggalkan amal?”, Nabi menjawab, “Bekerjalah kalian dan setiap orang akan diberikan kemudahan sesuai dengan yang diciptakan baginya. Adapun orang – orang yang berbahagia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan kebaikan dan orang – orang yang celaka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan yang akan mengantarkan kepada kecelakaan”
Suatu ketika Umar bin Khattab pernah melihat seseorang berdoa di dalam masjid agar diberi kecukupan hidup oleh Allah SAW. Akan tetapi anehnya, orang ini tidak mau bekerja dan hanya pasrah kepada takdir. Tanpa ragu lagi Umar mencela orang itu dan berkata kepadanya bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas atau pun perak untuknya. Berkenaan dengan ini Allah berfirman,
”Dan katakanlah,’Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’”(QS. At Taubah [9]:105)
Hadist ini juga berisi dalil bahwa kita tidak boleh memvonis seseorang masuk surga atau neraka, meskipun diketahui bahwa orang itu telah melakukan jenis amalan kebaikan atau diketahui telah melakukan segala bentuk kefasikan. Karena dalam hadist tersebut disampaikan,”Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga…..dst”. Menurut Ibnu Daqiq al-‘Id, makna zahir hadist ini adalah orang tersebut memang melakukan amalan yang bernar dan ahwa ia telah dekat dengan surge disebabkan amalannya, tinggal tersisa jarak satu hasta untuk memasukinya.
Oleh karena itu, dari hadist yang kita ahas ini dapat diambil kesimpulan bahwa kita tidak boleh mengandalkan amal perbuatan atau bersandar padanya. Kita juga tidak boleh mengaguminya karena kita tidak mengetahui bagaimana yang baik (khusnul khatimah) dan memohon perlindungan kepada Nya dari kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Tak seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya.” Para Sahabat bertanya,”Begitu pula engkau, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,”Termasuk juga aku, hanya saja Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku”(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kita mau merenungi hadist ini, tentu kita tidak akan pernah merasa congkak dan bangga dengan amal kebaikan kita. Setinggi apa pun puncak ilmu dan amal kita, sesungguhnya kita tidak akan masuk surga hingga Allah melimpahkan rahmatNya kepada kita sebagaimana tersurat dalam hadist tersebut.
Semoga kita dimudahkan Allah untuk selalu beramal saleh hingga ajal tiba. Semoga pula kita mati dalam keadaan khusnul khatimah dan dimasukan ke surgaNya. Amiin
PELAJARAN PENTING
1. Allah mengetahui tentang keadaan makhlukNya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami,termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2. Tidak mungkn manusia di dunia ini dapat memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka, karena amal perbuatan hanyalah wasilah (perantara), selanjutnya Allah lah yang menentukan.
3. Amal oerbuatan dinilai pada akhirnya. Maka, hendaklah manusia tidak terpedaya oleh kondisi saat ini. Oleh karena itu, mohonlah kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (khusnul khatimah).
4. Jemputlah rezeki dengan usaha dan cara yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Bersikap tenang dan qanaah, itu lebih baik daripada membabi buta dan mengurus hati serta pikiran untuk mendapatkan rezeki yang diinginkan.
5. Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.
tag : bagaimana fase penciptaan manusia, hadist al arbain 4, ketentuan Allah, qadar, hadist riwayat bukhari muslim, khusnul khatimah, su'ul khatimah, hadits arbain 4
[رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud r.a, dia berkata, “Rasulullah SAW menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan,’sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaanya di dalam perur ibunya sebagai setetes mani selama 40 hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan kepadanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : rezeki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Illah selainNya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surgA hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga, maka masuklah dia ke dalam surga’”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist ini menjelaskan dua aspek penting yang berkenaan langsung dengan kehidupan manusia. Pertama, fase perkembangan manusia di dalam perut ibunya. Kedua, penetapan qadar sebagaimana keyakinan mazhab Ahlus SUnnah wal Jamaah. Mari kita simak bersama penjabarannya.
Dalam benak kita mungkin tebersit pertanyaan, mengapa Allah menciptakan anak Adam dalam beberapa fase? Padahal Dia Mahakuasa untuk menciptakannya sekaligus dalam waktu sekejap? Perlu kami ingatkan sejenak bahwa setiap tindakan dan syariat Allah pasti mengandung hikmah dan pelajaranyang dapat diambil. Hanya saja, hikmah tersebut kadang bisa kita ketahui dan kadang akal kita belum mampu mengetahuinya . Meskipun kita belum mengetahui hikmah tersebut, kita harus tetap yakin bahwa di balik semua itu terdapat hikmah yang besar bagi makhlukNya. Tidak semestinya kita bertanya, misalnya, “mengapa shalat zuhur berjumlah 4 rakaat? Sedangkan shalat subuh hanya dua rakaat?” Tidak selayaknya kita bertanya demujuan, karena Allah berfirman, “Dia tidak ditanya tentang apa yang dipebuatNya dan merekalah yang akan ditanyai”(QS.Al Anbiyaa’[21]:23)
Dalam beberapa hal tertentu, memang kita dituntut untuk menomorduakan akal dan pikiran kita. Jika kita bersikeras memakai akal sebagaimana perangkat untuk mengukur syariat Allah, hal itu akan menjerumuskn kita dalam keragu-raguan dan sikap was-was. Contoh kecil saja, ketika seseorang kentut, Allah tidak memerintahkannya untuk membasuh dubur ketik dia hendak shalat. Mengapa? Akan tetapi, yang diperintahkan Allah kepada kita adalah berwudhu karena ajaran agama ini tidak berdasarkan pada akal dan pikiran, tetapi bersifat taufiqy (diajarkan langsung oleh Alloh dan RasulNya). Berangkat dari sinilah Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan :
“Jika agama itu cukup dengan pikiran maka bagian bawah khuff lebih utama untuk diusap dari pada bagian atas. Aku benar-benar melihat Nabi SAW mengusap punggung kedua khuffnya”(HR. Abu Dawud)
Begitu pula kaitannya dengan penciptaan anak Adam. Ada tiga hikmah yang dapat kita petik di balik tahap penciptaannya. Pertama, agar ada kesesuaian penciptaan manusia dengan penciptaan alam yang luas, sesuai dengan hokum dan sebab akibat serta pendahuluan dan kesimpulan. Kedua, Allah mengajarkan kepada para hambaNya untuk bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam urusan mereka. Ketiga, pemberitahuan bahwa jika akan meraih kesempurnaan dengan cara bertahap sesuai dengan bertahapnya jasad dalam penciptaannya dari satu fase ke fase berikutnya hingga mencapai dewasa.
Dalam penciptaannya, manusia mengalami empat fase perkemabangan sebagai berikut :
1. Fase nutfah (setetes mani) selama empat puluh hari.
2. Fase ‘alaqah (semacam gumpalan darah) selama empat puluh hari.
3. Fase mughaladhah (sepotong atau segumpal daging) selama empat puluh hari.
4. Fase terakhir setelah ditiupkan ruh kepadanya.
Patut untuk diketahui bahwa sebelum masa empat bulan, janin tidak bisa dihukumi sebagai manusia yang hidup. Berangkat dari pemikiran ini, jika si janin gugur sebelum memasuki usia empat bulan, ia tidak perlu dimandikan, dikafani, atau dishalatkan. Sebab, ia belum menjadi manusia. Setelah berusia empat bulan, barulah ia dihukumi sebagai manusia, karena saat itu telah ditiupkan ruh kepadanya . Oleh sebab itu, jika setelah usia tersebut mengalami keguguran , ia harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, seperti halnya manusia yang telah melewati masa Sembilan bulan. Demikian menurut uaraian Syek Utsaimin. Seteleah menjalani empat fase tersebut, Allah memerintahkan malaikat untuk menulis atau menetapkan empat kalimat (ketetapan) kepadanya, yaitu rezeki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.
Hadist ini sekaligus mementahkan pengetahuan kita tentang teori evolusi yang diaharkan di bangku sekolah. Teori Darwin yang sudah berusia 150 tahun tersebut telah berpengaruh besar pada pandangan hidup yang dianut masyarakat. Teori ini menyatana sebuah kedustaan, yautu bahwa manusia muncul ke dunia ini sebagai akibat faktor kebetulan dan bahwa manusia adalah suatu “spesies binatang”. Padahal, sudah jelas bahwa semua manusia sejak nabi Adam a.s hingga sekarang diciptakan Allah. Sungguh benar firman Allah,
“ Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik”(QS. Al-Mukminuun[23]:12-14)
Hadist ini juga mengandung penetapan qadar sebagaimana yang diyakini oleh mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah , yaitu bahwa seluruh kejadian berdasarkan ketentuan dan takdir (qadar) Allah, yang baik maupun yang buruk, yang bermanfaat maupun yang merugikan.
Takdir itu rahasia Allah. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, bahkan Rasul atau Nabi sekalipun. Ada ulama yang mengatakan, “sesungguhnya rahasia qadar itu akan terbuka bagi mereka ketika telah masuk ke dalam surga dan ia tidak akan terungkap sebelum itu”. Akan tetapi ironisnya sebagian manusia ada yang tidak mau beramal dan hanya pasrah kepada takdir. Sikap seperti itu dilarang oleh syariat.
Dalam hadist Bukhari, Nabi bersabda,”Tidak ada makhluk yang bernafas kecuali Allah telah menentukan tempatnya di surga atau neraka, telah dituliskan celaka atau bahagia.” Seseorang bertanya,”Ya Rasulullah, apakah kita berpegang pada ketentun tersebut dan meninggalkan amal?”, Nabi menjawab, “Bekerjalah kalian dan setiap orang akan diberikan kemudahan sesuai dengan yang diciptakan baginya. Adapun orang – orang yang berbahagia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan kebaikan dan orang – orang yang celaka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan yang akan mengantarkan kepada kecelakaan”
Suatu ketika Umar bin Khattab pernah melihat seseorang berdoa di dalam masjid agar diberi kecukupan hidup oleh Allah SAW. Akan tetapi anehnya, orang ini tidak mau bekerja dan hanya pasrah kepada takdir. Tanpa ragu lagi Umar mencela orang itu dan berkata kepadanya bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas atau pun perak untuknya. Berkenaan dengan ini Allah berfirman,
”Dan katakanlah,’Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’”(QS. At Taubah [9]:105)
Hadist ini juga berisi dalil bahwa kita tidak boleh memvonis seseorang masuk surga atau neraka, meskipun diketahui bahwa orang itu telah melakukan jenis amalan kebaikan atau diketahui telah melakukan segala bentuk kefasikan. Karena dalam hadist tersebut disampaikan,”Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga…..dst”. Menurut Ibnu Daqiq al-‘Id, makna zahir hadist ini adalah orang tersebut memang melakukan amalan yang bernar dan ahwa ia telah dekat dengan surge disebabkan amalannya, tinggal tersisa jarak satu hasta untuk memasukinya.
Akan tetapi, ia terhalang oleh takdir yang telah mendahuluinya pada saat akhir hidupnya (dengan melakukan amalan ahli neraka dan akhirnya masuk neraka).
Jika demikian, amalan itu berdasarkan pada apa yang dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, ketika amalan yang telah dilakukan sebelumnya itu telah tertutup, sedangkan penutupnyalah yang dominan, maka amalan yang terdahulu menjadi sia-sia. Dalam hadist disebutkan,”Sesungguhnya amalan itu bergantung bagaimana kesudahannya”
Jika demikian, amalan itu berdasarkan pada apa yang dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, ketika amalan yang telah dilakukan sebelumnya itu telah tertutup, sedangkan penutupnyalah yang dominan, maka amalan yang terdahulu menjadi sia-sia. Dalam hadist disebutkan,”Sesungguhnya amalan itu bergantung bagaimana kesudahannya”
Oleh karena itu, dari hadist yang kita ahas ini dapat diambil kesimpulan bahwa kita tidak boleh mengandalkan amal perbuatan atau bersandar padanya. Kita juga tidak boleh mengaguminya karena kita tidak mengetahui bagaimana yang baik (khusnul khatimah) dan memohon perlindungan kepada Nya dari kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Tak seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya.” Para Sahabat bertanya,”Begitu pula engkau, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,”Termasuk juga aku, hanya saja Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku”(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kita mau merenungi hadist ini, tentu kita tidak akan pernah merasa congkak dan bangga dengan amal kebaikan kita. Setinggi apa pun puncak ilmu dan amal kita, sesungguhnya kita tidak akan masuk surga hingga Allah melimpahkan rahmatNya kepada kita sebagaimana tersurat dalam hadist tersebut.
Semoga kita dimudahkan Allah untuk selalu beramal saleh hingga ajal tiba. Semoga pula kita mati dalam keadaan khusnul khatimah dan dimasukan ke surgaNya. Amiin
PELAJARAN PENTING
1. Allah mengetahui tentang keadaan makhlukNya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami,termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2. Tidak mungkn manusia di dunia ini dapat memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka, karena amal perbuatan hanyalah wasilah (perantara), selanjutnya Allah lah yang menentukan.
3. Amal oerbuatan dinilai pada akhirnya. Maka, hendaklah manusia tidak terpedaya oleh kondisi saat ini. Oleh karena itu, mohonlah kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (khusnul khatimah).
4. Jemputlah rezeki dengan usaha dan cara yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Bersikap tenang dan qanaah, itu lebih baik daripada membabi buta dan mengurus hati serta pikiran untuk mendapatkan rezeki yang diinginkan.
5. Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.
tag : bagaimana fase penciptaan manusia, hadist al arbain 4, ketentuan Allah, qadar, hadist riwayat bukhari muslim, khusnul khatimah, su'ul khatimah, hadits arbain 4
HADIST AL ARBA'IN 4 (FASE PENCIPTAAN MANUSIA)
Reviewed by skyoko7@gmail.com
on
Wednesday, November 10, 2010
Rating:
No comments:
Comment Here